Masuk / Daftar
10 Maret 2025
Kecurangan (fraud) sering dianggap sebagai kejahatan sederhana. Fraud selalu menjadi topik yang menarik dan penuh kontroversi. Dalam dunia akademik dan profesional, fraud sering dijelaskan melalui teori Fraud Triangle, yang diperkenalkan oleh Donald Cressey (1953). Teori ini menyatakan bahwa fraud terjadi ketika seseorang mengalami tekanan (pressure), menemukan peluang (opportunity), dan memiliki alasan untuk membenarkan tindakannya (rationalization). Namun, penelitian terbaru oleh Ach Maulidi (2024) mengungkap proses psikologis yang lebih berpengaruh balik perilaku kecurangan yang dilakukan oleh seseorang.
Ada perspektif baru yang berbeda dari teori konvensional. Rasionalisasi memiliki peran yang lebih dominan dalam menentukan apakah seseorang akan melakukan fraud atau tidak. Perspektif ini mengubah anggapan bahwa tekanan keuangan adalah faktor utama pendorong fraud. Namun ternyata, fraud sering terjadi karena individu mampu membenarkan tindakan mereka secara moral dan sosial, meskipun mereka tidak berada dalam situasi keuangan yang mendesak. Dalam penelitian ini, Maulidi (2024) menantang kerangka ini dengan menekankan peran penalaran moral (moral reasoning) sebagai cara individu membenarkan tindakan tidak jujur mereka.
Melalui wawancara dengan pejabat tinggi di pemerintahan daerah Indonesia, penelitian ini menemukan bahwa orang tidak serta-merta melakukan kecurangan hanya karena ada kesempatan. Sebaliknya, mereka mengembangkan pembenaran pribadi yang membuat tindakan mereka terasa dapat diterima.
Peran Pengaruh Sosial
Fraud tidak selalu dilakukan oleh individu yang bertindak sendirian. Dalam banyak kasus, fraud merupakan hasil dari kerjasama kolektif (co-offending), dimana sekelompok individu bekerja sama untuk menghilangkan jejak kejahatan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa fraud bukan hanya sekadar tindakan individu, namun menjadi bagian dari budaya organisasi yang disfungsional.
Salah satu temuan utama dalam studi ini adalah bahwa pendorong sosial (social enabler)—seperti budaya kerja yang tidak etis, pengaruh teman sejawat, dan kepemimpinan yang lepas tangan—dapat membentuk cara individu memandang kecurangan. Ketika ketidakjujuran menjadi hal yang biasa dalam suatu organisasi, karyawan lebih cenderung menganggap perilaku curang sebagai "bagian dari pekerjaan."
Misalnya, seorang pejabat mengakui bahwa ia awalnya ragu untuk melakukan kecurangan, tetapi akhirnya menerimanya sebagai norma: “Awalnya saya bingung. Kemudian, saya mengerti bahwa loyalitas kepada pemimpin adalah budaya kami.”
Pembenaran Moral (Moral Reasoning): Kunci Perilaku Fraud
Penelitian ini menemukan bahwa orang melakukan pembenaran diri (moral reasoning) untuk meredakan rasa bersalah akibat kecurangan. Beberapa percaya bahwa mereka membantu organisasi mereka, sementara yang lain menganggap tindakan mereka sebagai hal kecil dibandingkan dengan "kejahatan yang lebih besar." Seorang pejabat membenarkan penggelembungan angka keuangan dengan mengatakan bahwa hal itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan publik.
Jenis pemikiran seperti ini mengurangi hambatan moral yang biasanya mencegah seseorang melakukan kecurangan. Semakin seseorang dapat membenarkan tindakannya, semakin besar kemungkinan mereka untuk melakukan tindakan tidak jujur.
Mengembangkan Strategi Pencegahan Fraud
Penelitian ini memberikan wawasan praktis bagi organisasi dalam mencegah terjadinya kecurangan. Ada dua pendekatan utama yang dapat diterapkan:
Menciptakan Budaya Organisasi yang Berintegritas
Karena faktor sosial terbukti berperan dalam membentuk psikologi individu, maka organisasi harus berupaya menciptakan budaya yang menjunjung tinggi etika dan integritas. Nilai-nilai seperti kejujuran dan nol toleransi terhadap kecurangan harus menjadi bagian dari identitas organisasi sejak awal.
Memahami Psikologi Individu dalam Mengambil Keputusan
Penelitian ini menemukan bahwa banyak pelaku fraud tidak merasa bersalah atas tindakan mereka. Oleh karena itu, menanamkan rasa malu dan penyesalan atas tindakan curang dapat menjadi strategi efektif untuk mencegah kecurangan sejak dini.
Selain itu, penelitian ini juga memperluas konsep “kesempatan” dalam fraud triangle. Sebelumnya, kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu dikaitkan dengan kelemahan sistem pengendalian internal. Namun, penelitian ini menemukan bahwa kecurangan juga dapat terjadi dalam kelompok yang solid, di mana para pelaku saling menutupi kelemahan kontrol internal. Oleh karena itu, jika konsep kesempatan hanya dikaitkan dengan sistem kontrol internal, maka ia tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana kecurangan dapat terjadi dalam skala yang lebih besar.
*Note:
Ulasan di atas merupakan hasil rangkuman dari penelitian dosen Akuntansi Ubaya, Ach Maulidi:
Maulidi, A. (2025). The enigma of fraud as a unique crime and its resonance for auditing research and practice: unlearned lessons of psychological pathways to fraud. Journal of Accounting & Organizational Change, 21(1), 48-69.
Download artikel penuh: https://doi.org/repository.ubaya.ac.id/47031/
Populer